Pontianak, Jumat 21 Desember 2012
Jika anda
berkeliling di stan Festival Seni Budaya Melayu (FSBM) VIII di Kompleks Rumah
Adat Melayu Kalbar, anda akan menemui stan yang menampilkan kerajinan tangan
para remaja putri yang tergabung dalam Komunitas Rajut Pontianak (KRP).
Komunitas ini terbentuk setahun silam dan terus berkembang dengan berbagai
kreasi dan inovasi. Para remaja putri ini begitu lihai menyulam. Istilah mereka
merajut atau merenda dengan benang khusus. Hasilnya pakaian dan ragam aksesori
kesenangan kaum hawa.
Komunitas ini terbentuk melalui
dunia maya. Karena hobi yang sama, mereka kemudian membentuk komunitas ini.
Para pemula yang sudah ahli merajut bertemu untuk saling berbagi. Aiys Fitaloka
adalah salah satu diantara anggota KRP. Dia mengatakan komunitas ini terbentuk
karena sama-sama menyukai bahan-bahan rajutan. Tak ada tempat khusus bagi
mereka untuk bertemu. Kafe atau rumah anggota secara bergantian menjadi tempat
nongkrong atau tempat berkumpulnya mereka.
“Kita bertemu online, ada kopi darat
juga perbulan secara bergiliran di rumah anggota. Ketemunya bisa juga di kafe
sesuai kesepakatan saja. Kita belajar bersama saling berbagi membuat hasil
karya rajutan,” kata Ays ketika saya tanya. Sedangkan produk-produk yang
ditawarkan oleh anak-anak KRP ini terdiri dari berbagai macam jenis, yaitu
rajutan berupa aksesori, pakaian hingga tas. Hasil rajutan inilah yang kemudian
berubah jadi rupiah. Bahan bakunya berupa benang yang mereka bisa dapat dilokal
maupun impor.
Ketika ditanya soal benang, Ays
mengatakan kalau benang impor memang lebih baik kualitasnya dibanding dengan
benang lokal. Maka tak ayal hasil yang tercipta juga lebih bagus dengan harga
jual yang tinggi pula. Ays menambahkan lagi,” aksesoris dijual mulai Rp 5.000,- sampai dengan Rp 55.000,-
sedangkan untuk pakaian berkisar antara Rp 75.000,- sampai dengan Rp
400.000,- bahkan ada juga yang jutaan”. Komunitas
ini juga memberikan kursus, siapa saja bisa belajar dan bisa dipanggil untuk
belajar dan memberikan pelatihan.
Pontianak, Kamis 20 Desember 2012 (Pangkak Gasing)
Kabupaten
Sambas menjadi juara dalam tangkai pangkak gasing Festival Seni budaya Melayu
ke VIII yang diadakan dihalaman Balai Kajian Sejarah, Jl.Sutoyo NO.2 Pontianak.
Sambas berhasil menumbangkan tujuh lawan lainnya yang berasal dari daerah yang
berbeda.
Paklong utusan sambas mengatakan
pangkak gasing sudah menjadi kebiasaan masyarakat sambas,”gasing ini sudah
menjadi permainan rakyat. Kebiasaan bermain gasing inilah yang akhirnya membawa
Sambas juara 1, alhamdulillah.” Kata paklong kepada saya ketika ditanya seusai
pertandingan selesai.
Juara dua diraih Kapuas Hulu
sedangkan juara tiga diraih oleh Pontianak. Ruslan selaku juri pangkak gasing
mengatakan, hanya enam daerah kabupaten/kota yang mengutus perwakilannnya. “
Kita menilai poin peserta yaitudengan membuat enam lingkaran. Antara lingkaran
mempunyai nilai-nilai genap yaitu 10 untuk tengah lingkaran, 8 untuk lingkaran
kedua, dan 6,4,2,0 untuk diluar lingkaran,katanya”. Setiap peserta juga wajib
membawa 3 gasing dalam pertandingan ini, “kita sudah menentukan gasing mana
yang ikut pertandingan, panitia hanya menentukan gasing jenis jantung saja.
Selain itu tidak boleh diperlombakan,” kata pak Ruslan menambahkan.
Bukan hanya tangkai pangkak gasing
saja yang disuguhkan disini. Delapan
kontingen utusan MABM kabupaten/kota juga memperebutkan juara dalam tangkai uri
gasing. Pemenang tangkai ini yakni si empunyagasing yang mampu membuat
gasingnya berputar paling lama berdasarkan catatam waktu panitia. Dalam
pertandingan ini Kubu Raya yang menjadi pemenang, sedangkan juara ke-2 dan ke-3
masing-masing yaitu kota pontianak dan bengkayang.
Perwakilan Kubu Raya mengatakan
bahwa brntuk gasing membuat mereka menjadi juara. Kubu Raya mencatat waktu
terlama yakni 21,33 detik. Dikatakan Gustian, bentuk dan kayu yang digunakan
untuk gasing sangat mempengaruhi kedinamisan putaran. Siapa sangka, gasing yang
digunakan Gustian sudah berusia 35 tahun. “Membuat gasing kalau menggunakan
tangan bisa satu harian. Belum lagi mencari bahan, satu hari. Kita menggunakan
kayu kampas, yaitu kayu yang beratnya bisa mempengaruhi hasil kemenangan,
jelasnya. Pria ini sudah bermain gasing sejak SD. “Sudah pernah jadi juara, di
Mempawah empat kali, Pontianak sepuluh kali dan sekarang memberdayakan festival
budaya Melayu.
Selaku pencinta uri gasing, dia
berterima kasih kepada pemerintah yang sudah melestarikan permainan rakyat ini.
Jika tidak, jelasnya, permainan ini bisa menjadi dongeng bagi anak dan cucu.
Dan baiknya permainan uri gasing ini harus di berdayakan dan dilestarikan agar
tetap terjaga dan tetap ada.
Seminar Internasional Melayu Gemilang
Seminar yang
bertema “Warisan Kearifan Lokal dan
Pendidikan Karakter Nusantara” terdapat
107 tulisan terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Para penulis merupakan
peneliti, dosen dan mahasiswa yang berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei
Darussalam. Ada 3 intelektual dari Brunei, 21 dari Malaysia, dan 83 dari
Indonesia. Mereka yang mewakili Indonesia berasal dari berbagai macam daerah.
Ketua Pusat Penelitian Kebudayaan
Melayu Uneversitas Tanjungura Chairil Efendi berkata, Seminar Internasional
Melayu Gemilang ini merupakan rintasan awal yang merupakan wadah jaringan
sarjana dan ilmuan nusantara dalam berkomunikasi secara akademik. Komunikasi
akademik ini penting mengingat nusantara ini alam Melayu menjadi sepadan dengan
politik beberapa negara. Kita melihat banyak sekali kearifan-kearifan lokal
yang ditinggalkan oleh para pendahulu dan masyarakat Melayu masih dirasakan
kurang, memahami, menghargai dan melestarikan kearifan lokal dan sedikit sekali
lembaga pendidikan yang memberikan perhatian terhadap kearifan lokal.
Alam Melayu yang luas terbentang
memamerkan banyak kearifan lokal dan pendidikan karakter di masyarakatnya.
Kekayaan inilah yang harusnya dieksploitasi, dibincangkan, dan dipublikasikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar